CONTOH KASUS:
Kasus pertama: D, 23 tahun.
“Pacar kedua saya yang saya kira sangat baik dan sopan, ternyata sangatlah abusive. Hal itu sebelumnya tidak diketahui sampai akhirnya setelah 3 bulan pacaran dan ada konflik ringan, dia mulai menyiksa dirinya sendiri, awalnya hanya dengan mencakar muka dan bajunya sampai robek, lalu memukul tembok, sampai membentur-benturkan kepalanya ke dinding dengan keras. Setelah itu, frekuensi dan derajat kekerasan meningkat. Selain menarik-narik tangan saya jika sedang memaksakan atau mengajak pergi ke suatu tempat, ia juga mulai mendatangi rumah saya dan menggedor-gedor pintu kamar serta jendela saya dengan paksa. Syukurlah waktu itu ada tetangga saya yang menolong saya dengan cara duduk di ruang tamu sampai pacar saya itu pulang. Kalau tidak, saya tidak tahu apa yang akan dilakukannya pada saya, padahal, pembantu saya sampai pulang ke rumahnya saking ketakutannya.”
“Kekerasan terhebat yang pernah saya alami dan bahkan sampai menyebabkan hampir hilangnya nyawa saya adalah setelah 2,5 tahun pacaran dengan frekuensi putus-sambung yang sangat sering. Saat itu, sesudah saya putuskan dia, saya datang ke rumahnya membawa buku kuliahnya yang tertinggal di mobil saya. Lalu dia mulai memukul meja marmer yang keras sampai pecah, juga lemari. Setelah itu, dia menarik kerah baju saya, melemparkan saya ke dinding dan saat saya terbaring di lantai, dia menginjak dada saya dengan kakinya sampai saya tidak bisa bernapas dan pingsan. Sesaat sebelum pingsan dia masih membekap muka saya dengan benda lunak (kemungkinan bantal). Syukurlah tidak begitu lama dibekap olehnya, kalau lama mungkin saya sudah tiada.”
“Saya tersadar saat dia kembali melemparkan saya ke dinding untuk yang kedua kalinya sampai badan dan lengan saya memar. Saya berusaha meminta bantuan teman-temannya yang laki-laki untuk menolong saya namun dengan santainya mereka bilang bahwa itu bukan urusan mereka. Bagaimana mungkin, satu nyawa terancam dan mereka yang menyaksikannya tidak tergerak sedikitpun untuk menolong. Sungguh pengalaman tragis yang tidak pernah akan terlupakan oleh saya.”
“Memang orangtuanya anggota militer dan pernah melakukan kekerasan pada anaknya hanya karena anaknya sulit tidur malam. Mungkin hal inilah yang direkam di alam bawah sadarnya sampai besar dan berdampak pada perlakuannya kepada orang lain. Atau mungkin juga karena terlalu seringnya dia dipukuli oleh orangtuanya, akibatnya dia jadi ketagihan untuk disakiti orang. Namun di depan semua orang, termasuk saya, sikapnya sangatlah baik dan sopan, apalagi jika diputuskan, dia akan memohon-mohon agar saya mau kembali padanya. Apapun dilakukannya demi tercapainya keinginannya, mulai dari memberikan bunga yang sangat indah, sampai duduk berjam-jam di depan rumah saya agar hati saya luluh dan bersedia menjadi pacarnya kembali. Sayapun bersedia menjadi pacarnya kembali hanya agar saya tidak diteror di kampus. Namun setelah 2,5 tahun pacaran, akhirnya saya memutuskan dia, karena sudah tidak tahan lagi dengan perilakunya itu.”
Kasus kedua: R (28 tahun).
“Pacar saya sangatlah posesif. Hanya 4 bulan saja masa pacaran terasa indah, sisanya mulai keluar watak aslinya, yaitu temperamental. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya maka dia akan mulai marah besar, dengan cara membanting barang pecah belah di kamar kosnya sampai dia harus membeli piring dan gelas setiap minggu sekali. Dan memasuki tahun kedua, mulailah ringan tangan. Bahkan pernah kedua lengan saya dipegang erat-erat dan digoncang-goncangkan saat ia marah besar sampai menyisakan tanda biru legam di lengan saya berhari-hari.”
“Perilaku posesif ditunjukkan dengan kontrol yang ketat, dia harus tahu kemanapun saya pergi dan dengan siapa. Bahkan pernah suatu ketika ia sedang berada di luar kota, namun saya tidak berani pergi ke manapun karena takut jika ia menelepon ke tempat kos saya dan saya tidak ada, maka ia bisa marah besar. Saya hanya berani berdiam diri di kamar sambil ketakutan.”
“Hal paling buruk yang saya alami adalah pada saat kami sudah pacaran selama 2 tahun dan terjadi miskomunikasi yang menyebabkan kami tidak bertemu di suatu tempat. Saat datang ke kos saya, tanpa bicara dia langsung menampar saya dan kami bertengkar hebat sesudahnya.”
Sesudah kejadian itu, R mengalami rasa takut yang luar biasa tiap bertemu pacarnya itu. Ketakutan ini ternyata berdampak pada fisiknya. Memang R dapat dikatakan tidak menderita sakit fisik, tetapi sakit di hatinya menyebabkannya tidak mampu bangun dan berjalan, sampai dia harus menemui 4 orang dokter spesialis, yaitu dokter saraf, ahli jantung, psikiater dan penyakit dalam dan mereka semua menganjurkan R untuk menghilangkan penyebab sakitnya itu, yaitu memutuskan pacarnya. Namun berat bagi R untuk memutuskan pacarnya, karena setiap diputuskan, maka dia akan memohon-mohon untuk kembali. Akhirnya, setelah 3 tahun pacaran, R berani memutuskan hubungan mereka dan setelah itu R menjadi pasien tetap seorang psikolog sampai 1 tahun lamanya untuk menyembuhkan luka hatinya yang teramat dalam (bahkan sampai 4 tahun lamanya setelah mereka putus, masih terasa sakit hatinya). Sampai saat inipun dia masih trauma dan ingin marah bila bertemu dengannya.
Kasus ketiga: A, 27 tahun
Hampir serupa dengan kasus R, A pernah mempunyai pacar yang sangat posesif. Selama 5 tahun mereka berpacaran, pacarnya sangat mengekang kebebasan A. Kemanapun A pergi, pacarnya harus diberitahu dan jika terlambat sampai di rumah, maka pacarnya akan marah besar. Hampir serupa dengan kasus D, jika mereka mengalami konflik, maka pacarnya akan menyiksa dirinya sendiri dengan cara membentur-benturkan kepalanya ke tembok atau setir mobil. Dia bahkan mengancam jika A tidak memaafkan dirinya, maka pacarnya itu akan bunuh diri. Setelah mereka putus pun, pacarnya kerap menggedor-gedor pagar rumah A sampai tetangga keluar dari rumahnya dan bertanya-tanya ada apa gerangan.
Pengalaman traumatik itu masih membekas di dirinya, sampai sekarang A masih sangat takut untuk menemui mantan pacarnya itu, bahkan saat mereka bertemu dalam salah satu acara pernikahan teman mereka pun, A langsung pucat, gemetar dan hampir pingsan. Padahal saat itu mereka sudah putus sekitar 2 tahun dan A sudah menikah dengan orang lain.
Walaupun semua perempuan yang mengalaminya sudah menikah dengan orang lain, namun KDP menyisakan luka hati yang sangat dalam dan butuh waktu penyembuhan yang lebih lama daripada sakit fisik. |
sumber: http://muhshodiq.livejournal.com/1377.html
SOLUTION :
cara menghadapi kekerasan dalam pacaran
KEKERASAN DALAM PACARAN (KDP)Kekerasan dalam pacaran? Yang bener aja! Dimana mana yang namanya pacaran khan buat seneng seneng, isinya cinta cintaan, rayu rayuan, saling menunjukkan perhatian, memberi support, dll, emang ada pacaran isinya tonjok tonjokan? Hmmm….kalo kamu berpikiran begitu, berarti kamu ketinggalan jaman! Sekarang semakin banyak kasus muncul yang berkaitan dengan tindak kekerasan dalam pacaran. Jadi yang namanya pacar, yang mestinya mencintai kita, melindungi dan sebagainya, malah sering merongrong kita, melakukan kekerasan baik fisik maupun mental, dan malah membuat kita menderita. Siapa sih yang biasa jadi korban beginian? Jangan bosen ya dengan jawaban : perempuan. Lagi lagi perempuan yang jadi korban kekerasan. Tentu saja laki laki juga bisa jadi korban kekerasan dalam pacaran ini, cuman “untungnya” jumlahnya sedikit. Alasannya, ya sekali lagi karena laki laki menganggap perempuan lemah, dan penurut.
Sebenarnya apa sih yang dimaksud kekerasan dalam pacaran?
Perilaku atau tindakan seseorang dapat digolongkan sebagai tindak kekerasan dalam percintaan/ pacaran apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya baik dalam hubungan suami istri atau pada hubungan pacaran.
Kadang hal ini banyak juga yang menyangkal, apa ada kekerasan dalam pacaran? Apapun yang dilakukan orang dalam pacaran itu khan atas dasar suka sama suka, awalnya saja dari ketertarikan, nggak luculah kalo sampai muncul kekerasan . Tapi jangan salah, kasus kekerasan dalam pacaran memang ada dan ini juga bukan lelucon. Memang benar kasus – kasus kekerasan dalam pacaran ini kurang terexpose, so nggak heran kalo masih banyak yang nggak percaya.
Nah biar nggak penasaran kita simak saja seperti apa sebenarnya makhluk yang bernama kekerasana dalam pacaran ini.
Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar kamu maka ini bisa digolongkan tindak kekerasan dalam pacaran. Tindakan melukai secara fisik misalnya dengan memukul, bersikap kasar, perkosaan dan lain – lain, sedangkan melukai secara psikologis misalnya bila pacarmu suka menghina kamu, selalu menilai kelebihan orang lain tanpa melihat kelebihan kamu, , cemburu yang berlebihan dan lain sebagainya. Namun bentuk kekerasan yang paling sering terjadi adalah kekerasan seksual bisa berupa pelecehan seksual secara verbal maupun fisik, memaksa melakukan hubungan seks, dlsb.
Menghadapi kekerasan dalam pacaran seringkali lebih sulit bagi kita, karena anggapan bahwa orang pacaran pasti didasari perasaan cinta, simpati, sayang dan perasaan perasaan lain yang positif. Sehingga kalau pacar kita marah marah dan membentak atau menampar kita, kita pikir karena dia memang lagi capek, lagi kesel, bad mood atau mungkin karena kesalahan kita sendiri, sehingga dia marah. Hal klasik yang sering mucul dalam kasus kekerasan dalam pacaran adalah perasaan menyalahkan diri sendiri dan merasa “pantas” diperlakukan seperti itu. Pikiran seperti “ah mungkin karena saya memang kurang cantik, sehingga dia sebel”, atau “ mungkin karena saya kurang perhatian sama dia” , “ mungkin karena saya kurang sabar” dan lain lain, sehingga dia jadi “ketagihan” merendahkan dan melakukan terus kekerasan terhadap pasangannya.
Faktor pemicu kekerasan dalam pacaran
Pengaruh keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah – masalah emosional yang kurang diperhatikan oleh orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang. Misalkan saja sikap kejam dari orang tua, berbagai macam penolakan dari orang tua terhadap keberadaan anak, dan juga sikap disiplin yang diajarkan secara berlebihan. Hal – hal semacam ini akan berpengaruh pada model peran ( role model ) yang dianut oleh anak tersebut pada masa dewasanya. Bila model peran yang dipelajari sejak kanak – kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standart, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran inipun akan muncul. Banyak sekali bukti yang menunjukkan hubungan antara perilaku orangtua dengan kepribadian anak di kemudian hari. Rata rata pelaku kekerasan dalam rumah tangga pada masa kecilnya sering mendapat atau melihat perlakukan yang kasar dari orangtuanya, baik pada dirinya, saudaranya, atau pada ibunya. Walaupun secara logika dia membenci perilaku ayahnya, akan tetapi secara tidak sadar perilaku itu terinternalisasi dan muncul pada saat dia menghadapi konflik.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penerapan disiplin yang berbeda antara ayah dan ibu. Perbedaan yang terlalu mencolok, misal ayah terlalu keras, sementara ibu terlalu lemah, akan mempengaruhi nilai – nilai yang dianut, kontrol diri dan perilaku yang akan ditampilkannya secara konsisten sepanjang hidupnya.
Lingkungan sekolah
Oleh masyarakat , sekolah dipandang sebagai tempat anak belajar bersosialisasi, dan memperoleh pendidikan dan ketrampilan untuk dapat hidup dengan baik di masyarakat. Sayangnya yang kurang disadari adalah kenyataan bahwa di sekolah pulalah individu bersosialisasi dengan anak – anak lain yang berasal dari latar belakang yang beraneka. Bila seseorang ini, tidak mampu menyesuaikan diri , maka akan muncul konflik dalam diri. Bila ia tidak mampu melakukan kontrol diri maka akan cenderung memicu perilaku agresif diantaranya berbentuk kekerasan dalam pacaran (KDP).
Hal hal yang lain seperti pengaruh media massa, TV atau Film juga dipandang memiliki sumbangan terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangannya.
Hal yang khas yang sering muncul dalam kasus kasus kekerasan dalam pacaran adalah bahwa korban biasanya memang cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan (menampar, memukul, nonjok, dll) biasanya terus menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan dia lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. Pada saat inilah, karena si cewek sangat mencintainya, dan dia berharap sang pacar akan benar benar insaf, maka dia serta merta memaafkannya, dan hubungan diharapkan bisa berjalan lancar kembali. Padahal yang namanya kekerasan dalam pacaran ini seperti sesuatu yang berpola, ada siklusnya. Seseorang yang memang pada dasarnya punya kebiasaan bersikap kasar pada pasangan, akan ada kecenderungan untuk mengulanginya lagi, karena hal ini sudah menjadi bagian dari kepribadiannya, dan merupakan cara dia untuk menghadapi konflik atau masalah.
Apakah perilaku dia bisa bener bener berubah?
Bisa kalau memang dia mau menjalani sebuah “ terapi” . Terapinya tidak harus dengan psikolog
Atau psikiater, akan tetapi harus dengan kemauan yang tulus untuk merubah situasi, dan dengan bantuan pasangannya. Hal pertama yang dia harus pahami benar adalah sebab atau latar belakang dia berperilaku seperti itu. Apakah ada riwayat hubungan dengan orangtuanya yang buruk, atau hal hal lain yang berhubungan dengan tidakan kekerasan yang dialaminya pada saat dia kanak kanak? Riwayat tersebut dgunakan untuk mendasari pemahaman mengapa dia menggunakan cara menghadapi masalah (coping behavior) seperti itu, sehingga bisa memperkuat upaya dia untuk berubah. Selanjutnya dia perlu berlatih untuk menghadapi emosi, mengendalikannya sehingga tidak muncul dalam bentuk yang merusak dan merugikan diri sendiri dan pasangannya. Ada banyak latihan mengendalikan amarah/emosi, misalnya dengan Yoga, latihan pernafasan, dll.
Bagaimana kalau dia tidak bisa/tidak mau berubah?
YA, kalau dia tidak berubah juga, berarti keputusan ada pada pasangannya. Apakah mau mengambil resiko dengan terus berhubungan dengan orang seperti itu, atau segera ambil keputusan untuk meninggalkan dia dan cari orang lain yang lebih sehat mentalnya dan sayang pada kita. Kalau pacar kamu tipe cowok beginian, kamu memang harus pikir masak masak deh, apa memang bener dia pria yang kamu cinta? Karena percayalah tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berhak menyakiti kamu, atau merasa punya alasan untuk berbuat kasar kepadamu walaupun dia itu pacar kamu yang kamu cintai setinggi langit. Jadi kalau hal ini menimpa kamu, kamu harus yakin bahwa hidupmu adalah milik kamu sendiri, dan keputusan untuk tetap menjalin hubungan sama dia tau tidak, semua tergantung pada dirimu, bukan karena kamu nggak pede, atau karena kamu dipaksa.
Nah buat temen temen cowok hati hati dengan kecenderungan untuk berperilaku kasar, apalagi kalau kalian punya latar belakang seperti yang dijelaskan di atas. Cepet cepet cari bantuan, atau lakukan latihan mengendalikan emosi, supaya tidak menjadi pelaku kekerasan dalam pacaran atau rumah tangga, dan menyakiti orang yang kita sayangi. Kalau nggak, takutnya nanti nggak bakal ada cewek yang mau sama kita lho…
sumber :
http://lilicinta.blogspot.com/2009/08/cara-menghadapi-kekerasan-dalam-pacaran.html
Selengkapnya...