Diskriminasi Hukum dan ''Reliable Judiciary''
- Dalam acara Debat Kandidat Jaksa Agung yang digelar MetroTV beberapa hari lalu, terlontar pernyataan klasik tetapi yang rasanya akan terus menjadi aktual. Menanggapi presentasi Prof Dr Achmad Ali SH MH, seorang peserta aktif meminta, di antara teori-teori tentang penegakan hukum, alangkah lebih lengkap kalau juga disampaikan langkah-langkah teknis untuk menghadapi keterpurukan hukum kita dewasa ini. Kata penanggap tersebut, ''Seorang maling ayam begitu mudah ditangkap dan dijatuhi hukuman, tetapi mengapa koruptor yang jelas-jelas merugikan keuangan negara miliaran rupiah tidak bisa disentuh oleh hukum?'' Ungkapan lama itu, walaupun sederhana, mengandung logika fenomena diskriminasi hukum yang terus menerus kita hadapi.
- Hari-hari ini, dunia hukum kita disodori berita tentang penanganan kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh, dan kasus gula impor ilegal yang menyangkut tokoh Inkud dan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Walaupun proses perkara sudah berjalan, sangatlah terasa ketidakmudahan hukum untuk menjangkau figur-figur tersebut. Pada tingkat pemeriksaan saja, dibutuhkan energi luar biasa dengan berbagai pertimbangan, justifikasi, dan pertarungan opini. Seolah-olah terjadi tarik-ulur, dan banyak pihak yang berkemungkinan untuk saling memperkuat bargaining position. Pemanggilan dan sikap menyangkut Puteh dan Nurdin itu bukanlah contoh pertama, karena sebelumnya telah banyak tersaji kondisi serupa.
- Dalam ilmu hukum, kita mengenal Donald Black dengan teori diskiriminasinya. Ada lima aspek yang menurut dia menjadi faktor penyebab munculnya diskriminasi hukum, yaitu stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi, dan pengendalian sosial. Status sosial seseorang yang lebih tinggi, akan menyebabkan dia mendapat perlakuan berbeda dibandingkan dengan seseorang yang berstatus sosial lebih rendah, meskipun dikenal adagium equal justice under the law (semua orang sama kedudukannya di bawah hukum). Faktanya, terjadi keadaan melee (cair) akibat perbedaan stratifikasi sosial, morfologis, dan seterusnya, sehingga jika meminjam istilah Prof Achmad Ali, ''semua orang sama kedudukannya di bawah hukum, tetapi siapa dulu bapaknya....''
- Dari pengalaman peradilan perkara korupsi di Tanah Air, sulitlah menampik kebenaran teori Donald Black tersebut. Secara teoritis, kita gagal menghasilkan suatu peradilan yang andal, yang sebenarnya membawa tujuan ideal untuk mewujudkan keadilan substansial. Reliable judiciary itu sangat penting untuk membangun citra ke dunia internasional, meyakinkan adanya kehendak politik mengenai kepastian hukum. Dimensi dari peradilan yang andal itu, adalah keterciptaan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial. Membangun citra melalui keadilan substansial dalam penegakan hukum itu, bagaimanapun berkait dengan upaya-upaya Pemerintah dalam pembangunan ekonomi, dengan kalkulasi bahwa semua itu membutuhkan suatu kepercayaan yang besar.
- Persyaratan bagi keterwujudan realiable judiciary adalah penegak hukum yang progresif, dengan inovasi, kecerdasan, dan selalu berpikir dalam dimensi kemaslahatan sosial. Semua harus ditopang dengan keberanian bersikap. Tanpa mengabaikan mereka yang punya komitmen tinggi, kita mencatat nama Baharuddin Lopa (alm) dan Muhammad Yamin (alm) sebagai contoh keteladanan dalam keberanian melakukan tindakan progresif. Jelaslah, dibutuhkan keadaan yang mampu menumbuhkan kepercayaan, sehingga produk dari suatu sistem peradilan benar-benar dapat diprediksi untuk memberi keyakinan kepada individu atau kelompok (masyarakat), dan bukan ''keanehan-keanehan'' yang sering dihadapi oleh masyarakat sejak dari awal proses hingga ujung vonis.
- Stratifikasi dan diskriminasi, jelas hanya akan menghasilkan keadaan hukum yang buram, karena adagium tentang kesederajatan berhadapan dengan fakta yang omong kosong. Sebagian jawaban dari semua itu, adalah bagaimana kita mendorong munculnya kemauan untuk membebaskan diri dari belenggu positivisme. Kasus dugaan penyalahgunaan APBD Jawa Tengah oleh anggota DPRD, misalnya, menunjukkan betapa kuat cengkeraman positivisme itu, sehingga mengabaikan aspek-aspek empirik yang berkait dengan eksplorasi hati nurani. Kita tentu tidak ingin kasus-kasus seperti yang melibatkan Nurdin Halid dan Abdullah Puteh makin menguatkan teori stratifikasi. Bukankah menyedihkan, ketika tak sedikit orang bersikap sinis, ''Paling-paling hasilnya akan seperti ...''
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/19/opi01.htm
Pemecahan Permasalahan:
Didalam Kasus hukum pada topik diatas,sangatlah jelas bahwa dalam penegakan hukum di indonesia masing-masing warga negara yang terjerat hukum baik ringan ataupun pidana berat para warga negara yang terjerat hukum tidak mendapatkan perlakuan tidak adil,apalagi bagi masyarakat kecil.perlakuan ini tentu saja secara tidak sadar telah membedakan persamaan derajat warga negara.di negara ini kasus hukum yang berkepanjangan dikarenakan para pelaku hukum lebih banyak mengutarakan tentang teori-teori penegakan hukum.diskriminasi makin merajalela saat Seorang maling ayam begitu mudah ditangkap dan dijatuhi hukuman, tetapi mengapa koruptor yang jelas-jelas merugikan keuangan negara miliaran rupiah tidak bisa disentuh oleh hukum.hal ini sangatlah jelas bahwa telah terjadi stratifikasi sosial anatara kalangan atas dan kalangan bawah.Stratifikasi dan diskriminasi, jelas hanya akan menghasilkan keadaan hukum yang buram, karena adagium tentang kesederajatan berhadapan dengan fakta yang omong kosong.untuk menaggulangi masalah tersebut salah satunya dengan mengkaji lagi teori-teori yang ada,dan lebih memefokuskan pada perbedaan stratifikasi sosial serta persamaan derajat bagi semua para pidana yang ada tanpa membeda-bedakan derajat masing-masing pelaku pidana tersebut. (Pramudya Sigit Prasetyo)
0 komentar:
Posting Komentar