Budaya Popular dan Pergeseran Nilai
Tribunnews.com - Senin, 22 November 2010 04:05 WIB
HARUS kita akui bahwa budaya popular telah merubah sikap, komitmen, dan orientasi kepentingan seniman dalam mengapresiasi seni. Seperti kita saksikan di tengah maraknya konser, pertunjukan, tontonan musik baik yang digelar secara out door, in door, maupun tayangan di layar kaca televisi, perfoma para artis ini sudah dimanipulir untuk kepentingan dan persaingan dagang, ketimbang apresiasi seninya.
Di sini artis sudah menjadi merek dagang dari barang dagangan yang mensponsori, ketimbang penonjolan unsur estetika atau apresiasi seninya. Ruang apresiasi mereka sudah dibatasi oleh image atau propaganda pencitraan komoditas dari pihak sponsor.
Bukan tidak mungkin di balik kedok-kedok semua itu di balik kepentingan bisnis terselip pula propaganda atau penyusupan ideologi. Dalam konteks kepentingan bisnis, keberadaan para artis ini diperlakukan tak lebih dari sekadar instrumen komoditas. Sementara konsumen adalah objek bagi pemenuhan fetisisme komoditas. Disadari atau tidak disadari bahwa sang artis maupun konsumen telah masuk perangkap fetisisme budaya popular, yang pada akhirnya menjadikannya semua itu sebagai gaya hidup bagi keberlangsungan kepentingan propaganda komoditas.
Sementara media massa terutama televisi merupakan instrumen yang dianggap paling efektif mengakomodir keberlangsungan industri budaya popular sebagai upaya propaganda dalam rangka mencekoki khalayak lewat layar kaca.
Pola inilah yang menurut Adorno sebagai bentuk keberhasilan konspirasi perkawinan kapitalisme dengan budaya popular dalam memanpulasi kesadaran masyarakat dengan kesadaran semu. Bagi Adorno, kebudayaan industri merupakan satu bentuk dehumansasi lewat kebudayaan.
Tak terelakkan bahwa globalisasi informasi telah membawa perubahan besar dan mendasar pada tatanan sosial dan budaya dalam skala global. Di mana globalisasi budaya mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dari globalisasi ekonomi dan globalisasi informasi. Di dalam iklim globalisasi, di mana sistem produksi budaya banyak dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, maka otoritas terhadap kebudayaan pada kenyataannya tidak lagi dipegang oleh pemerintah termasuk otoritas dalam melindungi kekayaan budaya.
Berbagai kasus pembajakan atau pencurian kekayaan budaya lokal merupakan suatu pertanda bahwa peraturan mengenai perlindungan atas kekayaan budaya tersebut sesungguhnya masih dirasa sangat perlu di dalam iklim globalisasi dewasa ini.[1] Termasuk perlindungan terhadap karya musik anak bangsa terkait beroperasinya perusahaan multinasional industri rekaman raksasa dunia di Indonesa yang tergabung dalam major label seperti EMI, Polygram, Warner, Sony-BMG dan Universal.
Permasalahan lain yang muncul dari keberadaan beroperasinya industri rekaman asing ini pihak-pihak mana sajakah yang menikmati hasil dari industri kultural tersebut. Apakah insan musiknya atau justru para pengusaha industri kulturalnya yang diuntungkan. Permasalahan lain yang tak kalah pentingnya untuk diantisipasi yaitu menyangkut perlindungan terhadap kekayaan budaya, termasuk perlindungan atas hak cipta dari karya-karya tersebut. Karena kalau tidak diantisipasi sejak dini kekayaan budaya bangsa ini – termasuk karya musik didalamnya – akan dikuasai pihak asing lewat kepanjangan tangan industri budaya.
Begitupun dengan kehadiran Music Television (MTV) tak lebih dari menyuarakan kepentingan ideologis industri kapitalisme global. Ketimbang mempertontonkan atau menyuarakan jati diri atau kepentingan pelestarian budaya lokal. Semua tayangan yang ada di MTV sudah direduksi untuk kepentingan komoditas dari grand design kapitalisme global. Di dalam globalisasi bukan saja tenaga dan kreativitas pemikiran yang dijual, melainkan juga loyalitas dan komitmen seniman dipertaruhkan. Sehingga tak terhindarkan kesadaran memaknai kesenian bertemu dalam satu panggung pergumulan konflik. Di sini pada akhirnya kesadaran berekspresi seniman cenderung merefleksikan adanya pergeseran sikap, orientasi, dan kepentingan.
Jelas kondisi seperti ini memiliki implikasi terhadap ideologi seniman bersangkutan. Sehingga seniman akan selalu dihadapkan dengan situasi yang cukup beragam, yang kadangkala melibatkan pada situasi pertentangan, konsensus atau tawar-menawar, dilematis, dan sebagainya. Yang pada akhirnya seniman harus memilih, tidak memilih pun sudah berarti memilih.[2] Situasi dilermatis tawar-menawar antara idealisme dan komersialisme antara artis dengan produser sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Sehingga terjadi tabrakan kepentingan antara idealisme seniman dengan kepentingan komersialisasi. Situasi ini banyak dialami pada penyanyi atau kelompok musik yang dianggap tidak mewakili standarisasi selera pasar budaya popular.
Menghadapi situasi ini tidak mengherankan bila kemudian muncul dugaan kecurigaan bahwa industri musik pop telah melakukan diskriminatif terhadap seniman yang dianggap tidak lagi mewakili keberlangsungan establishment industri kapitalisme. Bukan tidak mungkin fenomena pendiskriminasian ini terus berlanjut kalau tidak disikapi secara kritis. Untuk itu memang diperlukan semacam regulasi dalam industri musik Indonesia. Salah satunya yaitu memberi ruang apresiatif bagi seniman dengan tidak memberlakukan diskriminatif lantaran usia atau genre musik.
Di bawah kendali industri budaya popular pola budaya musik Indonesia mengalami pergeseran determinasi bangunan musiknya. Yang terjadi saat ini, sebagai sebuah karya seni, musik pop Indonesia juga tak luput mengalami perekayasaan standarisasi baik bangunan musiknya, struktur lagunya, maupun pembakuan tema liriknya yang lebih banyak mengeksploitasi ke persoalan cinta dalam ruang sempit, mulai dari tematik ilusi cinta, ekstasi cinta sampai pengumbaran libido cinta atau seksualitas, bahkan kini dunia perselingkuhan pun makin marak merambah di dunia musik pop.
Seni sebagai perwujudan dari ekspresi batin yang selalu dikaitkan dengan estetika telah mengalami pergeseran nilai, direduksi dan standarisasi sedemikan rupa sehingga menjadikan dirinya tak lebih dari sekadar sebagai objek kepentingan komoditas. Musik sebagai karya seni yang diharapkan menjadi pengkayaan batin, pencerahan budi, sekaligus sebagai pecerminan yang mewakili watak, karakter, citra dan kepribadian suatu masyarakat telah mengalami pergeseran nilai. Akankah pergeseran nilai, pergeseran estetika dalam musik pop ini mewakili cerminan riil kondisi masyarakat kita. Atau jangan-jangan justru kita yang sudah terpedaya oleh penyusupan propaganda ideologi kapitalisme global yang secara tersembunyi menggerogoti kepribadian dan jati diri kita sebagai bangsa.
Tinggal bagaimana pengamat dan pers musik menyikapi perkembangan dan fenomena kultural ini secara lebih kritis lagi. Termasuk perlu adanya political will dari elemen Pemerintah, elit politik, institusi musik – seperti PAPPRI, ASIRI dan YKCI, serta seniman musiknya sendiri, lebih peka dan kritis dalam menyikapi fenomena kultural ini yang pada akhirnya bukan saja akan berimplikasi di bidang kebudayaan, ekonomi, juga politik.
[1] Yasraf Amir Piliang, Transpolitika – Dinamika Politik di dalam Era Virtual, Jalasutra, Yogyakarta, 2005
[2] M. Jazuli, Seni Pertunjukkan Global; Sebuah Pertarungan Ideologi Seniman, Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukkan, Bandung, Edisi X
Sumber:
http://www.tribunnews.com/2010/11/22/budaya-popular-dan-pergeseran-nilai
Pemecahan Permasalahan:
Bagi orang Indonesia budaya adalah jembatan menuju kesuksesan, budaya adalah tempat untuk mencari solusi jika terdapat permasalahan, budaya adalah harta yang tak ternilai harganya.
Perubahan dalam hidup boleh terjadi akan budaya dengan nilainya yang tak terhingga akan tetap menjadi simbol bagi orang Indonesia dalam kehidupannya. Terbukti walaupun kemajuan begitu pesat saat ini akan tetapi dalam setiap kesempatan tetaplah budaya dikedepankan dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan.
Pada prinsipnya setiap perkembangan dan kemajuan dalam segi apapun baik adanya, setiap manusia menginginkan perubahan pun demikian dalam konteks kehidupan bermasyarakat.
Dari sekian banyak bidang ada dan berpacu untuk kemajuan salah satunya adalah bidang teknologi, yang menghadirkan perubahan dan kemajuan untuk selanjutnya digunakan oleh manusia. Beragam teknologi yang diciptakan memungkinkan manusia untuk bebas memilih apa yang diinginkan.begitu juga dalam industry music yang mau tidak mau telah dikendalikan pihak barat.yang otomatis Disadari atau tidak disadari bahwa sang artis maupun konsumen telah masuk perangkap fetisisme budaya popular, yang pada akhirnya menjadikannya semua itu sebagai gaya hidup bagi keberlangsungan kepentingan propaganda komoditas.budaya hedonism barat dan kapitalisme secara tidak sadar menyertai pada industry music yang dikendalikan pihak luar.apa mau dikata iklim globalisasi, di mana sistem produksi budaya banyak dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, maka otoritas terhadap kebudayaan pada kenyataannya tidak lagi dipegang oleh pemerintah termasuk otoritas dalam melindungi kekayaan budaya. Perkembangan teknologi seperti yang sudah tersaji diatas tentu membawa perubahan yang begitu baik dan pesat dalam kehidupan manusia. Perkembangan itu baik adanya jika sesuai dengan apa yang diharapkan. Bagaimana jika perkembangan teknologi membawa pengaruh negatif dalam hidup manusia ? apakah pengaruh negatif dari teknologi mempengaruhi pergeseran nilai – nilai budaya dalam kehidupan manusia ? Kedua pertanyaan ini menjadi wajar apabila kita perhatikan dengan seksama dampak dari kemajuan saat ini.
Tidak dipungkiri bahwa perkembangan teknologi saat ini juga membawa pengaruh yang kurang baik atau negatif dalam kehidupan manusia. Kehadiran tekologi yang sedemikian canggih membuat masyarakat umum mempunyai begitu banyak pilihan untuk memilih apa yang dikehendakinya.
Pertanyaan kedua apakah pengaruh negatif teknologi mempengaruhi bergesernya nilai – nilai budaya dalam masyarakat, jawabannya iya. Teknologi diciptakan oleh manusia untuk dapat memenuhi kebutuan manusia itu sendiri, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya justru teknologi tersebut disalah gunakan. Misalnya lewat teknologi internet atau dunia maya orang akan semakin mudah mengakses situs – situs porno yang justru itu datang dari kaum muda, hal ini tentu membuat pergeseran norma asusila dalam hidup kaum muda tersebut. Ini menjadi satu contoh dari sekian banyak contoh yang ada dalam kehidupan sehari hari masyarakat.
Contoh lain adalah dampak teknologi adalah dalam bidang militer, berpuluh – puluh macam senjata dicipatakan untuk membunuh manusia, kemana larinya budaya untuk saling menolong, menghargai sesama manusia kalau teknologi yang diciptakan justru dipakai untuk membunuh manusia sendiri. Yang paling hangat dalam ingatan kita tentunya kasus penculikan dan perkosaan yang dilakukan oleh pelajar beberapa waktu lalu yang justru dilakukan setelah pada mulanya berkenalan lewat media teknologi jejaring sosial online facebook. Dengan begitu mudahnya orang dapat mengakses informasi diri dan menyebarluaskan kepada sesama teman, akibatnya prostitusi pun dapat dilakukan lewat dunia maya ini yang justru merupakan efek dari perkembangan teknologi modern. Dan masih banyak lagi contoh betapa perkembangan teknologi yang begitu canggih justru disalah gunakan mengakibatkan bergesernya nilai – nilai budaya umat manusia itu sendiri.
Dalam upaya mempertahankan nilai nilai budaya dalam lingkungan masyarakat tentunya dibutuhkan kerja yang eksta, mengingat bahwa nilai – nilai budaya dalam masyarakat menentukan pula perkembangan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Mereka yang mampu bertahan di tengah kehidupan teknologi yang semakin canggih tentunya akan mendapatkan kehidupan yang diinginkan, demikian sebaliknya.
Bagaimana upaya mempertahankan nilai – nilai budaya dalam kehidupan masyarakat ? ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam upaya membentengi diri dari arus negatif teknologi. Beberapa hal tersebut antara lain :
1. Memperkenalkan pentingya nilai – nilai budaya kepada anak sejak usia dini
2. Memberikan pemahaman kepada anak, masyarakat dan elemen lainnya betapa vitalnya nilai – nilai budaya terhadap kehidupan
3. Memberikan batasan terhadap hal yang bersifat negatif yang masuk dalam hidup dan kehidupan suatu masyarakat
4. Menjadikan nilai – nilai budaya sebagai ujung tombak dari norma kehidupan keluarga dan masyarakat
5. Menjunjung tinggi nilai – nilai budaya
6. Memandang teknologi dengan segala kemajuan dan perubahannya dalam arti yang positif
7. Menggunakan fasilitas kemajuan teknologi untuk hal yang baik dan positif
8. Sebagai orang tua wajib untuk memberikan pengawasan ekstra kepada anak, baik dalam penggunaan teknologi atau pergaulan sehari-hari.
Memang dalam penerapannya terkadang sulit untuk mengikuti keinginan dibanding kata hati, akan tetapi untuk hidup yang lebih baik kita dituntut untuk melakukan perubahan dalam hidup kita.
Setinggi apapun kemajuan teknologi yang ditawarkan kepada kita akan tetapi kita salah menggunakannya tentu akan membuat hidup kita menjadi salah jalan, justru teknologi tersebut akan menyesatkan hidup kita sehingga nilai – nilai budaya hidup kita tidak lagi sesuai dengan yang kita harapkan, akhirnya ada yang harus dikorbankan dari kejadian tersebut.
Semuanya berpulang kembali kepada kita manusia sebagai makluk sosial, apakah teknologi yang sedemikian canggih ini dapat kita maksimalkan penggunaannya atau justru perkembangan teknologi yang menyeret kita pada hancurnya kebudayaan kita ? anda dan saya yang akan menjawabnya. (Pramudya Sigit Prasetyo)
0 komentar:
Posting Komentar